Masalah Syahadat adalah masalah yang sangat esensial, karena syahadat dalam pengertian syari’at merupakan hakikat keimanan dan tidak terpisahkan antara dalam ruang ungkapan, perbuatan, dan keyakinan. Sebab para Ulama sudah mendefinisikan bahwa Iman adalah al iqroru bil lisan wat tashdiqu bil jinan wal af’alu bil arkan, menyatakan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan melaksanakan dengan perbuatan. Jadi mengucapkan syahadat itu merupakan perwujudan dari keimanan para mu’min.
Dalam pandangan hukum fiqih, mengucapkan syahadat menjadi kewajiban (fardlu ‘ain) bagi tiap muslim dalam 5 (lima) kali shalat pardlu[1]. Shalat tanpa Syahadat tidak sah dan batal shalatnya, karena membaca tasyahhud (membaca syahadat dalam tahiyat) menajdi rukun dalam shalat.
Diluar shalat, mengucapkan syahadatain (dua kalimah syahadat) adalah kewajiban seketika bagi tiap manusia non muslim yang sudah dewasa. Sebagaimana mengucapkannya, meyakini secara mutlak terhadap makna syahadatain juga hal yang niscaya. Makna syahadatain secara tuntas dan jelas[2] telah banyak di tuliskan dengan panjang lebar oleh para ulama.
Secara singkat dapat kita simpulkan bahwa mengucapkan, memahami, dan meyakini makna Syahadatain menjadi kewajiban bagi setiap orang balig (“dewasa”), baik yang muslim maupun non muslim; diluar shalat dalam “seketika” bagi non muslim, dan di dalam shalat bagi orang muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar