Sahadat Cerbon - Sahadat Jeneng

Sahadat Cerbon - Sahadat Jeneng
Ashadu sahadat jeneng, kang jumeneng kelawan isun, jisim kang solat, solat sajeroning jisim, madep ning dzatullah, masup ning sifatullah, ya hu iman, hu suci , badan sampurna.

Sabtu, 31 Desember 2011

Syahadat dalam Pandangan Tasawwuf

Kita semua tahu bahwa ihsan merupakan salah satu komponen agama. Ihsan dalam implementasi kehidupan, merupakan pekerjaan para ulama Ahli Tasawwuf untuk menjelaskan dan mengekspresikannya. Amal dalam konteks mereka menjadi ‘percuma’ tanpa ihasan. Sementara ihsan dalam “batasan” hadis yang langsung diajarkan oleh Jibril kepada Rosulullah saw di hadapan para sahabat adalah menjalankan ibadah yang selalu berfokus kepada Allah swt, anta’budallaha ka annaka tarohu[1].

Dalam al Qur’an, ada satu ayat yang menerangkan tentang tujuan penciptaan jin dan manusia. Secara jelas Allah swt menuturkan bahwa mereka (jin dan manusia) tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepada Allah swt, wamaa kholaqtul insa wal jinna illa liya’budun [2]. Bagi orang-orang sufi, tak ada satu kegiatan pun di dunia yang tak bernilai ibadah. Dalam kaitan dengan ini, maka muncul istilah ibadah mahdloh dan ghoiru mahdloh. Jika kita sepakat bahwa seluruh kegiatan yang kita jalani ini adalah ibadah, maka ihsan dalam setiap gerakan kita harus selalu kita tampilkan dan suasanakan. Kemudian ihsan yang model mana yang hendak kita pahami dan lakukan.

Bila ihsan merupakan renungan yang selalu kepada Allah swt dalam setiap ibadah yang dilakukan, maka ada istilah dalam ilmu sufi yang muncul untuk memahami kondisi tersebut. Dalam hal ini, Para Ulama Sufi telah berusaha memberi pelajaran, penjabaran, batasan, dan pendidikan kepada umat tentang kondisi berihsan dengan kaidah musyahadah yang mashur. Musyahadah, secara bahasa, bermakna hal menyaksiakan Allah swt. Dan secara kaidah sufi berarti; 1. Musyahadah bil Haq. Tingkatan Pertama ini kondisi dan batasannya adalah “melihat sesuatu dengan petunjuk tauhid”, 2. Musyahadah lil Haq. Tingkatan Kedua ini kondisi dan batasannya adalah “melihat al Haq (Allah swt) dalam sesuatu”, dan 3. Musyahadatul Haq. Tingkatan Terakhir ini adalah “hakikat yakin yang tak ada keraguan didalamnya”[3].

Kami menduga bahwa Sahadat Cerbon berangkat dari pemahaman semacam ini, kemudian mereka, para pendahulu Cirebon, berfikir dan membuat suatu “bacaan” yang menggiring kita kepada kondisi musyahadah yang dikehendaki. Banyak cara dan tekhnik dilakukan oleh para Sufi terdahulu untuk menerjunkan pemikiran dan perasaan dalam kondisi ihsan, musyahadah yang bernilai ma’rifah.



[1] Lihat Matan al Arba’in Al Nawawiyah, Hadis Ke

[2] al Dzariyat ayat 51.

[3] Lihat al Ghazali, al Imla, Libanon Daru hlm. 19

Tidak ada komentar: